John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama – Kembali Lagi Pada Postingan Kali ini Blog informasikepo.blogspot.com Akan Berbagi Informasi Terbaru Khusus Buat Sobat semua yakninya tentang John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama, semoga bisa Bermanfaat ya Buat Sobat Semua.
Pada Hari Pahlawan 10 November 2009, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menetapkan mendiang Laksamana Muda John Lie sebagai
pahlawan nasional. Dengan demikian, John Lie menjadi warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa pertama yang tercatat sebagai pahlawan
nasional. Siapakah John Lie itu?
Oleh LAMBERTUS HUREK
Di kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk warga Tionghoa sendiri,
nama John Lie kurang dikenal. Orang tentu lebih kenal Laksamana Cheng
Hoo, panglima armada Tiongkok sekaligus penyebar agama Islam di
berbagai belahan dunia. Namun, di kalangan pelaut, TNI Angkatan Laut,
Laksamana John Lie tank asing lagi. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai
pahlawan nasional pun, John Lie sudah dianggap sebagai salah satu role
model bagi pelaut-pelaut muda tanah air.
Nama John Lie, yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, mulai
banyak dibicarakan setelah adanya iklim keterbukaan pada era 2000-an.
Ketika tahun baru Imlek dijadikan hari libur nasional, agama Khonghucu
diakui (kembali), maka sejumlah aktivis Tionghoa mengusulkan agar John
Lie dijadikan pahlawan nasional. Seminar-seminar pun digelar, buku
tentang John Lie diterbitkan, dan media-media Tionghoa banyak memuat
profil John Lie.
“Adanya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa justru sangat penting
bagi masyarakat Indonesia keseluruhan yang bisa melihat bahwa etnis
Tionghoa itu sama dengan etnis lain, yakni sama-sama berjuang untuk
kemerdekaan bangsa,” ujar Dr Asvi Warman Adam, sejarawan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aswi termasuk cendekiawan
yang banyak bicara di seminar dan menulis artikel-artikel tentang sosok
John Lie.
John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal di
Jakarta pada 27 Agustus 1998. Almarhum menerima Bintang Mahaputera
Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995. Karena itu, John
Lie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebijakan politik Orde Baru yang tidak kondusif bagi warga Tionghoa
membuat nama John Lie tenggelam. Jangankan mengusulkan putra
pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio itu sebagai
pahlawan nasional. Membicarakan jasa-jasa John Lie dalam perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saja tidak banyak
dilakukan.
Awalnya, John Lie bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda,
kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS),
sebelum diterima di Angkatan Laut RI. Semula dia bertugas di Cilacap
dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini John berhasil membersihkan
ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi Sekutu. Atas jasanya,
John dinaikkan pangkatnya menjadi mayor.
Sejak itu John Lie memperlihatkan kemampuannya sebagai pelaut dan
patriot sejati. Pada awal kemerdekaan, 1947, John ditugaskan
mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor
Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.
Di antaranya, mengawal kapal pengangkut karet 800 ton untuk diserahkan
kepada Utoyo Ramelan, kepala perwakilan RI di Singapura. Karet atau
hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata.
Senjata-senjata itu diserahkan kepada pejabat di Sumatera seperti bupati
Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Ingat, meski sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasukan Belanda
yang didukung Sekutu masih bercokol di Indonesia. Setelah Jepang
kalah, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.
Nah, perjuangan John Lie dan kawan-kawan di kapal tidak ringan
mengingat kapal-kapal AL Belanda rajin patroli. Belum lagi harus
menghadapi gelombang samudra yang besar untuk ukuran kapal mereka
yang belum secanggih saat ini.
Dalam operasi ini, John Lie mengemudikan kapal kecil cepat bernama The
Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati
Mochtar (1992), paling sedikit John Lie melakukan 15 kali operasi
‘penyelundupan’. Ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John
sempat ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan Singapura, John dibebaskan karena tidak terbukti
melanggar hukum. Saat membawa senjata semiotomatis dari Johor
(Malaysia) ke Sumatera, kapal John dihadang pesawat patroli Belanda.
John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas.
Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap,
mengarahkan senjata ke The Outlaw. Entah mengapa, komandan tidak
mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The
Outlaw tanpa insiden.
Jiwa patriotisme, cinta tanah air, membela negara, tak hanya
diperlihatkan Laksamana Muda John Lie lewat kata-kata, tapi perbuatan.
Sejak bergabung dengan TNI Angkatan Laut pada awal kemerdekaan,
sebagian besar hidup John Lie dibaktikan kepada negara dan bangsanya
di lautan.
Karena itu, John Lie yang dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911, ini tidak
suka dengan istilah ‘pribumi’ dan ‘nonpribumi’ yang dinilai hanya
menyudutkan orang Tionghoa di Indonesia. Istilah ‘nonpribumi’ ada era
Orde Baru selalu merujuk pada orang Tionghoa. Dan konotasinya selalu
jelek. Nah, John Lie ini punya pandangan sendiri tentang pribumi dan
nonpribumi.
“Siapakah orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah
orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa.
Sedangkan nonpribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka
pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga
menusuk kita dari belakang,” kata John Lie seperti dikutip Mayor (P)
Salim, komandan KRI Untung Suropati,dalam sebuah artikelnya.
Menurut John, orang yang tidak mementingkan atau membela nasib
bangsa Indonesia–apa pun latar belakang suku, ras, etnis, agama–
adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. “Jadi, soal pribumi dan
nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan
dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela,” tegasnya.
Laksamana Muda John Lie, menurut Mayor (P) Salim, terlibat aktif dalam
sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti
Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/
TII), dan PRRI/Permesta. Aksi separatis ini sangat mengganggu keutuhan
Republik Indonesia yang usianya masih sangat hijau.
Pada 1 Mei 1950 Menteri Panglima AL Raden Soebijakto memerintahkan
kapal perang AL untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John
Lie menjadi komandan kapal�kapal korvet RI Rajawali. Kemudian KRI Pati
Unus dikomandani Kapten S Gino, KRI Hang Tuah dipimpin Mayor
Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada 13 Juli 1950.
TNI AL mengerahkan kekuatan eskader-eskader di bawah komando Mayor
Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di Pulau Seram dan Pulau
Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini, yang dibantu kekuatan gabungan
TNI, pasukan RMS pun terdesak. Pada 15 November 1950, operasi
pembersihan RMS di Ambon dan sekitarnya selesai.
Pemberontakan DI/TII kali pertama muncul di Jawa Barat pada 1949 di
bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun, pengaruh DI meluas hingga ke
Aceh pada 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi
Selatan pada 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk
menumpas pemberontakan tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan
operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh
elemen pertahanan, termasuk TNI AL.
Nah, kapal TNI AL menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor
(P) John Lie.
Pada 1958 pemerintah juga menggelar operasi untuk menumpas
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan
Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Operasi gabungan TNI ini
dikomandani Kolonel Ahmad Yani, dengan wakil komandan Letkol (P)
John Lie dan Letkol (U) Wiriadinata.
Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17)
yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan KRI Gajah Mada, KRI
Banteng, KRI Pati Unus, KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe, serta
satu batalyon KKO (Marinir). Kapal-kapal melakukan bombardemen
sekitar kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan
pasukan KKO.
Setelah operasi Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama
setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington.
Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari
unsur TNI AL.
Kemudian, pada 1960�1966 John Lie menjabat kepala inspektur
pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada 5
Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa
kepahlawanan kepadanya.
gk komentar =
By Chika Imut
Demikianlah informasi yang dapat informasikepo.blogspot.com sampaikan. Semoga bermanfaat dan Beguna Hendaknya Buat anda semua pengunjung Blog Ini. dan Terima kasih kepada Sobat Semua yang telah membaca artikel John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama
Begitulah ulasan mengenai John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama yang bisa kami sampaikan, semoga sobat menikmati berita tersebut, tau ga masih banyak lagi berita yang lebih menarik dari berita John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama diatas, jika anda berminat coba buka halaman-halaman lain di situs informasikepo.blogspot.com ini, kami yakin para pembaca akan menemukan lebih banyak berita seperti John Lie , Pahlawan Nasional dari Etnis Tionghoa yg Pertama yang bisa menambah pengetahuan para pembaca sekalian, dan akhirnya selamat menikmati berita berita dari kami.. :)